Merindukan Cinta Yang Murni
“O…Tuhan aku merindukan CINTA yang murni!” (doaku)
“ Siapkan HATI yang murni! “ (jawab Tuhanku)
Lho..koq gitu jawaban Tuhan?
Ya…iyalah, kalau hati kita masih suka dengan hal-hal yang duniawi (tidak murni) mana mungkin bisa tertarik dengan cinta yang murni (apa yang diucapkan di mulut dengan di hati…beda..).
So…yuk, kita siapkan HATI yang MURNI supaya siap menerima CINTA yang MURNI.
Pastikan hati kita bersih dari ke- tiga SAMPAH di bawah ini:
1. Sampah “MABUK KEPAYANG”
Kamu mungkin pernah alami, saat pikiran terus menerus fokus pada seseorang yang telah menarik mata Anda (atau telinga Anda yang wanita) dan hati yang berdebar-debar gak keruan kapanpun orang itu lewat, trus menghabiskan waktu berjam-jam untuk berfantasi hidup bersama dengan orang istimewa tersebut. Itulah mabuk kepayang, mabuk yang tidak bisa disembuhkan dengan “antimo”.
Jarang sekali orang dapat melihat bahaya dari mabuk kepayang ini. Tetapi satu hal yang perlu disadari adalah “mabuk kepayang bisa menjadi respon berdosa terhadap daya tarik”.
Koq Gitu ? Ya, karena bukankah saat kita mulai membiarkan seseorang menggeser Allah dari fokus kasih sayang kita, itu berarti membuat apresiasi wajar kita terhadap keindahan seseorang atau pribadinya beralih kesuatu dunia mabuk kepayang yang membahayakan. Akibatnya kerinduan kita bukanlah Allah yang menjadi fokus utama tapi kepada pribadi tersebut, bukankah ini sama dengan penyembahan berhala?
Selain mengalihkan perhatian kita dari Allah, mabuk kepayang dapat menyebabkan masalah bagi kita karena kebanyakan hal ini didasarkan pada ilusi. Ketika tergila-gila dengan seseorang, kita cenderung membayangkan orang tersebut sebagai orang yang sempurna. Kita berpikir kita akan bahagia selamanya jika orang ini mau menanggapi kasih sayang kita. Tentu saja, kita hanya dapat menopang kebodohan kita itu kalau kita telah menggantikan semua kurangnya informasi mengenai orang tersebut dengan khayalan.
Segera setelah kita mengetahui identitas yang sesungguhnya dari orang tersebut, dan kita menemukan bahwa wanita atau pria ‘sempurna’ kita itu hanyalah manusia biasa sama seperti orang-orang lain, impian-impian kita lenyap dan kita berpindah pada orang lain lagi.
Untuk membuang “sampah mabuk kepayang” ini, kita harus menolak pandangan bahwa sebuah hubungan manusia akan dapat memuaskan kita selengkapnya. Ketika kita menemukan hati kita mulai dirasuki mabuk kepayang, kita seharusnya berdoa, “Tuhan, tolonglah aku untuk menghargai orang ini tanpa meninggikan dia di atas Engkau di dalam hatiku.”
2. Sampah “HAWA NAFSU”
Sampah kedua yang seringkali membuat hati kita kotor adalah hawa nafsu. Bernafsu adalah sangat mengharapkan sesuatu secara seksual di saat kondisi dan waktu yang dilarang oleh Allah. Contohnya, sebagai pria jomblo memandang seorang wanita dan membayangkan secara tidak sewajarnya, itu artinya ia sedang bernafsu. Ia sedang menempatkan hatinya pada sesuatu yang dilarang oleh Allah. Keinginan seksual dalam pernikahan adalah sesuatu yang alami dan ekspresi yang pantas dari seksualitas; bagaimanapun juga, dorongan seksual adalah pemberian Allah. Tetapi Allah juga memberikan kepada kita perintah khusus untuk melarang kita menceburkan diri dalam keinginan-keinginan tersebut sebelum menikah.
Untuk memerangi sampah hawa nafsu di dalam diri kita, kita harus membencinya sebagaimana Allah membencinya.
Kita juga perlu menghindari hal-hal yang mendorong keinginan-keinginan yang tidak baik. Bagi seorang gadis, menjaga hatinya, bisa juga berarti membuang semua novel-novel percintaan sekuler yang dimilikinya. Sebab sensualitas yang terus menerus digambarkan oleh buku-buku tersebut akan membuat hati menjadi tanah yang subur bagi benih-benih hawa nafsu.
Bagi seorang pria, menjaga hatinya, bisa berarti menghentikan kebiasaannya menonton film-film sekuler yang lazim membubuhkan kemolekan tubuh wanita atau keintiman seksual sebagai bagian yang wajar dalam alur cerita film tersebut.
Ketika kita mengevaluasi kehidupan kita secara jujur untuk mengenali adanya sampah bahwa nafsu di dalam diri kita sendiri dan dapat melihat betapa hal itu menyedihkan hati Allah; maka kita akan mau menghancurkan sampah hawa nafsu tersebut...sebelum mereka menghancurkan kita.
3. Sampah “MENGASIHANI DIRI SENDIRI”
Sampah terakhir yang berpotensi mengotori hati kita adalah mengasihani diri sendiri. Dalam beberapa hal, mengasihani diri sendiri adalah mengagungkan keadaan kita. Ketika kita tenggelam dalam mengasihani diri sendiri, kita memalingkan fokus kita dari Allah – dari kebaikanNYA, keadilanNYA, kemampuanNYA untuk menyelamatkan kita dari setiap keadaan. Dan ketika kita berpaling dari Allah, kita memutuskan diri kita sebagai satu-satunya sumber pengharapan.
Kita dapat dengan mudah membiarkan sikap mengasihani diri sendiri ini merembes masuk ke dalam hati kita.
Mengasihani diri sendiri adalah sebuah tanggapan berdosa terhadap perasaan kesepian. Kita tidak berdosa ketika kita merasa kesepian atau mengakui kerinduan akan hadirnya seseorang dalam hidup kita, tetapi kita berdosa saat kita menggunakan perasaan tersebut sebagai suatu alasan untuk berpaling dari Allah dan meninggikan kebutuhan-kebutuhan kita.
Buanglah sampah mengasihani diri sendiri saat ketika kamu merasakan perasaan-perasaan lama untuk mengangkat rasa mengasihani diri sendiri, cepat-cepat arahkan perasaan tersebut untuk peduli dan mengasihani orang lain. Carilah seseorang yang bisa diajak berbagi dalam mengatasi kesepian kamu, dan temukan cara untuk menghibur orang itu. Jangan arahkan fokus kamu pada kebutuhan-kebutuhanmu, tetapi bantulah untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
Belajarlah untuk menggunakan perasaan kesepian sebagai suatu kesempatan untuk menarik lebih dekat kepada Tuhan. Seorang gadis di pertengahan usia 20-an tahun pernah berkata bahwa ia melihat kesepian sebagai panggilan Allah kepada hatinya. “Ketika saya merasa kesepian, saya lalu berpikir, Allah sedang memanggil saya kembali kepada-NYA,” demikian katanya. Selama masa-masa itu ia belajar untk mencurahkan isi hatinya kepada Allah dan berbicara kepadaNYA. Sekarang ia tidak mau lagi menukar saat-saat intim dengan Allah bagi dunia.
( disadur dari buku “I Kissed Dating Goodbye’ Joshua Harris, hy)